Jumat, 24 Mei 2013

Piramida Mesir, Mumi, dan Kepercayaan

Piramida Mesir, Mumi, dan Kepercayaan

Piramida adalah monumen yang terkenal di Mesir Kuno. Piramida telah dibangun sekitar 2700 SM. oleh para raja Mesir pada zaman Kerajaan Tua dan Kerajaan Tengah sebagai simbol kerajaan. Pembangunan piramida mencapai puncaknya di bawah Fir’aun, dinasti ketiga sampai dinasti keenam (2686 SM-2345 SM).
Pembangunan Piramida
 
Terdiri atas susunan batu raksasa (sampai 15.000 kg per batu).
Memerlukan banyak tenaga (ahli bangunan, pemahat, pelukis, arsitek dan budak).
Di dalam piramida berisi banyak perhiasan dan patung-patung dari emas, perak, dan permata.

Sphinx, singa bermuka manusia yang juga merupakan obyek penting dalam penelitian ilmuwan, tingginya 20 meter, panjang keseluruhan 73 meter dianggap didirikan oleh kerjaan Firaun ke-4 yaitu Khafre. Namun, melalui bekas yang dimakan karat (erosi) pada permukaan badan Sphinx, ilmuwan memperkirakan bahwa masa pembuatannya mungkin lebih awal, paling tidak 10 ribu tahun silam sebelum Masehi.
 
Seorang sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa Piramida raksasa dan tetangga dekatnya yaitu Sphinx dengan bangunan masa kerajaan ke-4 lainnya sama sekali berbeda, ia dibangun pada masa yang lebih purbakala dibanding masa kerajaan ke-4. Dalam bukunya "Ular Angkasa", John Washeth mengemukakan: perkembangan budaya Mesir mungkin bukan berasal dari daerah aliran sungai Nil, melainkan berasal dari budaya yang lebih awal dan hebat yang lebih kuno ribuan tahun dibanding Mesir kuno, warisan budaya yang diwariskan yang tidak diketahui oleh kita. Ini, selain alasan secara teknologi bangunan yang diuraikan sebelumnya, dan yang ditemukan di atas yaitu patung Sphinx sangat parah dimakan karat juga telah membuktikan hal ini.

 Semua dinding dihias dengan gambar dan tulisan yang mengagung-agungkan diri mereka sendiri. Bentuk piramida yang melancip melambangkan sinar matahari, sehingga Fir’aun yang dikubur dipercaya naik ke surga.[1]

Mumi (mayat yang diawetkan)
 Ketika raja meninggal, badannya dimumikan. Segala organ tubuh bagian dalam dikeluarkan termasuk otak (kecuali hati). Sesudah itu bahan-bahan kimia alami digunakan untuk mengawetkan tubuh kosong firaun. Proses pengawetan memerlukan waktu 70 hari. Tubuh dibungkus dengan kain-kain yang berisi jimat sebagai benda kramat yang dapat menghindari segala peristiwa buruk.

Bangsa Mesir kuno membuat mumi karena mereka percaya dalam kehidupan setelah kematian, seseorang membutuhkan tubuhnya tetap utuh untuk digunakan di akhirat. Proses pembuatan mumi bukanlah sesuatu yang baku. Seiring dengan perkembangan jaman, metode baru terus ditemukan untuk menyempurnakan metode sebelumnya.
Awalnya, orang Mesir kuno membuat mumi dengan hanya membungkus mayat menggunakan banyak lapisan perban linen. Metode ini digunakan sebelum mereka memiliki pengetahuan tentang pembalseman. Tentu saja, cara ini gagal mencegah mayat dari pembusukan. Meskipun semua organ dalam mayat sudah dikeluarkan, tanpa adanya pembalseman, mumi tidak akan bisa bertahan lama seperti yang diharapkan.

Seiring waktu, orang Mesir kuno menemukan metode baru yaitu dengan merendam perban linen dalam resin yang membuat kain linen mengeras. Kain linen yang mengeras menjadi semacam cangkang yang melindungi mumi sehingga terhindar dari paparan udara luar. Proses ini juga memungkinkan untuk mencetak wajah mumi sehingga nampak lebih realistis. Namun, karena proses masih belum menyertakan pembalseman, hasil yang diperoleh masih belum maksimal.

Proses pembuatan mumi semakin sempurna dengan ditemukannya natron atau sejenis garam alami. Natron digunakan untuk pembalseman mumi dan bekerja dengan mengeringkan jaringan sehingga pembusukan dapat dicegah. Proses pengeringan umumnya memakan waktu dan beberapa bagian tubuh, seperti kuku, perlu diikat agar tidak terlepas.

Orang Mesir kuno percaya bahwa tubuh harus tiba dalam kondisi utuh di akhirat agar bisa digunakan lagi. Dalam proses ini organ dalam juga tetap dikeluarkan, kecuali jantung karena akan dibutuhkan di kehidupan yang akan datang. Seiring waktu, metode pembuatan mumi semakin disempurnakan dengan mengisi rongga tubuh yang kosong dengan serbuk gergaji atau linen.

Seringkali mayat diolesi dengan minyak dan rempah-rempah sebagai bagian dari proses pembalseman. Masker dari bahan resin yang mengeras sering ditempatkan di atas kepala dan bahu mumi agar mereka memiliki identitas yang dapat dibedakan di akhirat. Proses mumifikasi bisa memakan waktu hingga 60 hari. Ini berarti pemakaman baru bisa dilakukan dua bulan setelah sang tokoh meninggal.[2]
 
Sistem Keagamaan Mesir Kuno
Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah kematian dipegang secara turun temurun. Kuil-kuil diisi oleh dewa-dewa yang memiliki kekuatan supernatural dan menjadi tempat untuk meminta perlindungan, namun dewa-dewa tidak selalu dilihat sebagai sosok yang baik; orang mesir percaya dewa-dewa perlu diberi sesajen agar tidak mengeluarkan amarah. Struktur ini dapat berubah, tergantung siapa yang berkuasa ketika itu.

Dewa-dewa disembah dalam sebuah kuil yang dikelola oleh seorang imam. Di bagian tengah kuil biasanya terdapat patung dewa. Kuil tidak dijadikan tempat beribadah untuk publik, dan hanya pada hari-hari tertentu saja patung di kuil itu dikeluarkan untuk disembah oleh masyarakat.

Masyarakat umum beribadah memuja patung pribadi di rumah masing-masing, dilengkapi jimat yang dipercaya mampu melindungi dari marabahaya. Setelah Kerajaan Baru, peran firaun sebagai perantara spiritual mulai berkurang seiring dengan munculnya kebiasaan untuk memuja langsung tuhan, tanpa perantara. Di sisi lain, para imam mengembangkan sistem ramalan (oracle) untuk mengkomunikasikan langsung keinginan dewa kepada masyarakat.

Masyarakat mesir percaya bahwa setiap manusia terdiri dari bagian fisik dan spiritual. Selain badan, manusia juga memiliki šwt (bayangan), ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan nama. Jantung dipercaya sebagai pusat dari pikiran dan emosi. Setelah kematian, aspek spiritual akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak sesuka hati, namun mereka membutuhkan tubuh fisik mereka (atau dapat digantikan dengan patung) sebagai tempat untuk pulang.

Tujuan utama mereka yang meninggal adalah menyatukan kembali ka dan ba dan menjadi “arwah yang diberkahi.” Untuk mencapai kondisi itu, mereka yang mati akan diadili, jantung akan ditimbang dengan “bulu kejujuran.” Jika pahalanya cukup, sang arwah diperbolehkan tetap tinggal di bumi dalam bentuk spiritual.

Makam firaun dipenuhi oleh harta karun dalam jumlah yang sangat besar, salah satunya adalah topeng emas dari mumi Tutankhamun. Fir’aun adalah gelar dimana dalam diskusi dunia modern digunakan untuk seluruh penguasa Mesir kuno dari semua periode. Dahulu, gelar ini mulai digunakan untuk penguasa yang merupakan pemimpin keagamaan dan politik kesatuan Mesir kuno, hanya selama Kerajaan Baru, secara spesifik, selama pertengahan dinasti kedelapanbelas. Untuk simplifikasi, terdapat kesepakatan umum di antara penulis modern untuk menggunakan istilah ini untuk merujuk penguasa Mesir semua periode.

 Keyakinan-keyakinan bangsa Mesir Kuno

1. Bangsa Mesir Kuno menyembah banyak dewa, setiap wilayah memiliki dewa khusus yang disembah. Mereka mendirikan beberapa kuil dan membuat patung para dewa. Ada daerah yang menyembah elang sebagai simbol kekuatan, ada juga yang memuja sapi sebagai simbol kebenaran dan kasih sayang.

Dewa yang paling tinggi ialah Ra (matahari waktu tengah hari). Dewa Ra dipandang sebagai dewa yang melahirkan dewa-dewa lainnya:
Dewa Ra: dewa matahari
Dewa Nut : dewa langit
Dewa Geb : dewa bumi
Dewa Su : dewa hawa
Dewa Tefnit : dewa udara panas
Dewa Oziris : dewa sungai nil
Dewa Isis : dewa kesuburan
Dewa Sit : dewa padang pasir
Dewa Nefus : dewa kekeringan[3]




































[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Umum untuk SMP Kelas 1, Bandung, 1979.
[2] Sumber: Sekilas Sejarah Dunia, Penyusun Tim BSB, Yayasan Gemah Ripah; Buleleng, 2011.

[3] Sami’ bin Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama, Jakarta: Almahira 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar