RESPONDING PAPER
Agama Jain
Untuk
tugas individual mata kuliah Agama-agama
Minor
Dosen
Pembimbing:
Ibu. Hj. Siti Nadroh,
M.Ag
Disusun
oleh:
NUR FARIZA:
1110032100014
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
1.
Sejarah dan perkembangan agama jain
Agama jain adalah sebuah agama
monastic kuno dari india. Disebut agama Jain karena:
-Menolak
otoritas weda sebagaimana halnya agama budhha.
-Muncul pada zaman wiracarita yakni masa akhir zaman
brahmana, ketika ada perdebatan antara aliran teistis dan non teistis.
-tidak
mengakui adanya otoritas sacral Weda.
-menolak
batu ujian ortodoksi hindu yaitu apa yang disebut kasta.[1]
-mengakui bahwa ada 24 Thirtankara atau jiwa sempurna yang
kesemuanya dipercayai telah menyebarkan ajaran agama jain keseluruh dunia[2]
24 thirtankara
tersebut, Vardhamana atau yang dikenal dengan Mahavira yakni Thirtankara yang
ke 24 adalah tokoh jainisme yang paling dikenal dan para penganut agama jain
merasa ajaran jain telah cukup sempurana tatkala ditangannya.[3]
Agama Jain bermakna : agama Penaklukan. Yang dimaksudkan
penaklukan adalah penaklukan kodrat-kodrat Syahwati dalam tata hidup manusiawi[4].
Mahavira lebih dikenal sebagai nabi jainisme, bukan penciptanya. Mahavira adalah yang paling akhir turun ke Dunia ini. Sehingga Ialah yang
menyampaikan dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama jain.[5]
Awal mula dari kemunculan agama jain ialah:
-Ketika mahavira menyaksikan prilaku kasta brahmana
(Brahmin) yang banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga membuat dia
muak pangeran muda tersebut.
-Mahavira melakukan perjalanan mengembara sebagai seorang
kafir, dan bersumpah “ dalam masa 12 tahun terhitung mulai dari saat ini saya
tidak akan mengucapkan sepatah katapun“.
Dari sumpah itu dia mendapatkan
banyak pelajaran, diantaranya dia itu lebih baik dari kata.
-Mahavira juga tidak membenarkan
membunuh apa-apa yang bernyawa.
-Kemudian ajaran-ajarannya banyak didukung oleh kalangan
raja-raja karena salah satu ajarannya adalah tidak boleh menyakiti benda-benda
yang mempunyai ruh tetapi telah mewajibkan rakyat agar taat dan setia kepada
orang yang memerintah, barang siapa yang melanggar atau menentang akan
disembelih kepalannya.
Sumber-sumber suci dikalangan para
pengikut jain adalah pidato-pidato mahavira yang dikumpulkan bersama-sama dan
dijilid menjadi suatu sumber hukum, disebut “Ardha Majdi“. Ketika digunakan
bahasa sansekerta disebut kitab suci Jaina yaitu “Siddahanta” yang bermakna
perintah, ajaran, bimbingan terdiri ari 12 buah Angas (Bab) berisikan tentang
pesan-pesan dan sumber hukum dari para pengikut agama
jaina.[6]
2. Perkembangan
Jainisme
Pengikut jaina lebih kurang
satu juta orang dan semuanya berada di india seperti agama hindu, pada
keseluruhannya tara sosial dan penidikan mereka bersifat tinggi.[7]
Sekarang lebih kurang dari 8 juta orang yang menjadi pengikut. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme
termasuk golongan menengah ke atas. Agama Jaina itu mewariskan
bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal keindahan arsitekturnya di India dan
senantiasa dikunjungi wisatawan.[8]
Setelah Vardamina Mahavira meninggal aliran
jainisme pecah menjadi dua yang disebabkan karena masalah pakaian dan iklim
dalam 2 daerah belahan utara dan selatan:
Ø Svetambara (memakai jubah putih)
Ø Digambara (berpakaian langit atau telanjang) perpecahan tersebut terjadi Sekitar tahun 310 SM yakni lebih
kurang tiga abad sepeninggal Mahavira.
Sekte Digambara
itu beralaskan sikap hidup Mahavira didalam pengembaraannya, yang tidak peduli
terhadap kebutuhan duniawi. Tetapi sejak abad ke 7 M, yakni semenjak anak benua
India itu berada dibawah kekuasaan islam. Maka jemaat Digambara mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidaknya
mengenakan celana dalam. Itu sebab juga pertemuan antara Islam dengan agama Jain.
3.
Ajaran dan praktik kegamaan
Agama
jain atau jainisme menolak adanya tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau
penguasa dunia ini. Menurut Hut Chison, paham
jainisme tidak termasuk atheis, melainkan disebut non-teisme, mengakui keberadaan apa yang disebut sang “Maha
Kuat”, namun sang maha kuat
tersebut termasuk manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit
atau tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri darinya.[9]
Agama Jainisme menolak tuhan diantaranya adalah karena:
Ø Tuhan tidak ada perlunya karena manusia sendiri mampu mencapai kelepasan
melalui kekuatannya sendiri tanpa harus bergantung secara neurotic terhadap
kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya.
Ø Tuhan itu seolah-olah dianggap sebagai hal yang dijelaskan berdasarkan
prinsip-prinsip irasional.[10]
Konsepsi
tentang alam
Jainisme
menganut filsafat dualism yang membagi alam
semesta
menjadi dua
kategori:
Ø zat yang hidup (jiva),
Ø zat yang tidak hidup (ajiva), memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala),
dharma, adharma, ruang (akasa) dan waktu (kala).
Enam dravya adalah percampuran antara
jiva dan ajiva. Substansi jiva dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan, tidak
ada permulaan dan tidak berakhir. substansi-substansi tersebut lebih lanjut
diklasifikasikan menjadi dua yakni astikaya dan nastikaya.[11] Alam semesta ini adalah abadi, bergerak bukan karena adanya tuhan melainkan
bergerak secara mekanistis belaka.[12]
Konsepsi
tentang karma
Jainisme tetap
menerima ajaran tentang karma-samsara yang terjadi karena tercampurnya jiva dan ajiva. Karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu menyebabkan penggabungan
jiwa dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Proses pembersihan karma
disebut dengan nirjana, jika proses nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan
maka pada akhirnya semua karma akan tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan
utama hidup.[13]
Tujuan utama dari orang Jain adalah menjadi
seorang Paramatman, satu jiwa yang sempurna. Moksha didefiniskan dalam agama Jain sebagai pembebasan, penyatuan
diri (self-unity) dan integrasi, kesendirian yang murni dan ketenangan yang
abadi, bebas dari tindakan dan keinginan, bebas dari karma dan kelahiran
kembali. Moksha dapat dicapai dalam hidup ini atau pada waktu setelah mati. Tidak
ada persatuan dengan Tuhan.[14]
Pandangan
tentang pencerahan
Jiwa yang telah mencapai kesempurnaan atau pencerahan menyebabkan
pemiliknya mencapai tingkat kesalehan dan kesempurnaan dari luar dan dapat
menikmati empat macam atribut:
Ø persepsi yang tak
terbatas
Ø pengetahuan yang tak terbatas
Ø kekuatan yang tak terbatas
Ø kebahagiaan yang tak terbatas
Ø Kesempurnaan jiwa seperti ini dapat dirasa
ketika dia amsih hidup atau sudah mati.[15]
Tentang
Epsitemologi
Dalam
aspek epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi
hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak akan memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi
dan testimoni orang lain, kita semestinya meragukan validitas persepsi, karena
sekalipun persepsi kadang-kadang bisa bersifat ilusi.
Padahal
carvaka sendiri memakai inferensi (anumana) akan menberikan
pengetahuan valid ketika ia mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat.
Jaina
mengklasifikasikan pengetahuan benar:
pengetahuan
langsung (aparoksa):
-avadhi, kemampuan
melihat hal-hal yang tidak Nampak oleh indra.
-manahparyaya, telepathi.
-kepala, kemahatahuan.
pengetahuan
antara (paroksa):
-mati, mencakup
pengetahuan perseptual dan inferensial.
-sruta, berarti
pengetahuan yang diambil dari otoritas.
Pengetahuan salah:
samshaya atau keragu-raguan, viparyaya atau kesalahan
anandhyavasaya atau pengetahuan salah melalui kesamaan.[16]
Pengetahuan dibagi lagi:
pramana atau pengetahuan tentang suatu benda seperti apa adanya
naya atau pengetahuan tentang suatu benda didalam hubungannya dengan yang
lainnya yang berarti titik pandang atau pendapat dari mana
kita membuat pernyataan tentang sesuatu. Terdapat tujuh
naya yang empat pertama adalah artha-naya, kemudian tiga terakhir disebut
sabda-naya.[17]
Jaina
percaya dengan pluralisme roh; terdapat roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang, tetapi
juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu
pengetahuan moderen. Karma dapat
menyebabkan belenggu roh. Dengan menyingkirkan karma roh dapat memindahkan
belenggu dan mendapatkan kesempurnaan alamiah.[18]
Tiga cara
menyingkirkan belenggu:
keyakinan
yang sempurna dalam ajaran-ajaran guru-guru jaina
pengetahuan
benar dalam ajaran-ajaran tersebut
perilaku yang
benar, terdiri atas praktek tidak menyakiti atau
melukai seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan
kemelakatan objek-objek indriya.
Sehingga karma yang membelenggu roh akan disingkirkan.
Lalu, roh mencapai kesempurnaan, yang berakhir adalah
moksa, seperti guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara.
[19]
Tentang
Metafisika
Jainisme mengatakan ia yang mengetahui
semua sifat benda di dalam satu benda, mengetahui semua sifat semua benda, dan
ia mengetahui semua sifat semua benda. Pengetahuan manusia, dengan melihat kapasitasnya yang terbatas. Teori logika
dan epistemologi Ajaran jaina ini disebut “syadvada”.
Sisi metafisikanya bahwa:
Realitas mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya disebut
anekantavada
logika dan epistemologinya bahwa kita hanya dapat mengetahui beberapa aspek
saja dari suatu realitas di dunia dan keputusan-keputusan kita bersifat
relativ, disebut syadvada.
4.
PRAKTEK
KEAGAMAAN DALAM JAINISME
Asketisme, kehidupan
asketik dianggap sebagai:
Ø latihan
spiritual para atlit menjelang pertandingan
Ø menempatkan
prinsip serba dua antara materi dan spirit (jiwa)
Etika penganut agama Jain
Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta):
1. ahimsa (non kekerasan)
2. satya (kebenaran di dalam pikiran)
3. asteya (tidak mencuri)
4. brahmacharya (berpantang dari pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan
maupun perbuatan)
5. aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan).
Bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’
(anu-vrta), 12 atauran yang semula berasal dari aturan
pendeta:
1.
Tidak pernah menyengaja
melenyapkan kehidupan dari makhluk ang berorgan indra
2.
Tidak pernah
berbohong
3.
Tidak mencuri
4.
Tidak berzina
5.
Tidak tamak
6.
Menghindari
godaan-godaa
7.
Membatasi
jumlah barang yang dipakai sehari-har
8.
Menjaga hal
yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalaha
9.
Menjaga
periode-periode meditasi yang telah dicapa
10.
Mengamati
periode-periode penolakan dir
11.
Memanfaatkan
periode-periode kesempatan menjadi pendet
12.
Member sedekah
Umat
awam juga memegag prinsip ahimsa, dengan melakukan diet vegetarian dan
selanjutnya melarang diri makan telor. [20]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN
KALI JAGA PRESS, 1988)
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: al Husna
Zikra), cet. lll, 1996
I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti,
2003)
http://abid3011.blogspot.com/2011/04/agama-jaina.html
diakses tgl 21 maret 2013
Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain,
dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[1]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALI JAGA
PRESS, 1988)h, 151
[2]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h. 152
[3] http://abid3011.blogspot.com/2011/04/agama-jaina.html
diakses tgl 21 maret 2013
[4]
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: al Husna Zikra), cet.
lll, 1996, h 128
[5]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h. 15153
[6] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[7] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[8].
http://arifuddinali.blogspot.com/2011/12/jainisme.html.
[14] http://www.iloveblue.com/agama-jain/
[16]
Ibid, h. 316
[17]
ibid
[18]
Ibid, h. 18
[19]
Ibid, h. 320
[20]
I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 319.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar